Rabu, 08 Juni 2011

SISTEM KEMITRAAN PETANI SINGKONG DAN KOPERASI UNTUK MENSEJAHTERAKAN PETANI

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

SISTEM KEMITRAAN PETANI SINGKONG DAN KOPERASI

UNTUK MENSEJAHTERAKAN PETANI

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto


Pada tahun 2008 yang lalu saya pernah menulis tentang keberadaan suatu Kelompok Tani yang berada di Pulau Nunukan, namanya Kelompok Tani Hijau Lestari. Waktu itu saya sangat akrab dengan kelompok ini karena saya sering mengunjungi mereka, dan beberapa pengurusnya juga sering bertemu di kantor maupun di rumah. Dari seringnya bertemu itulah suatu saat muncul cetusan ide tentang bagaimana memulai program untuk mensejahterakan petani di Nunukan ini akan diwujudkan.

Betapa tidak, di kelompok tani ini ada 25 orang anggotanya, lahan kering yang dimiliki oleh seluruh anggotanya sekitar 50 hektar dan lahan basahnya yang berupa sawah tadah hujan dan sebagian beririgasi setengah teknis ada sekitar 20 hektar. Namun demikian keadaan kesejahteraan mereka sangat sederhana. Mereka mengaku bahwa rata-rata pendapatan per bulannya hanya sekitar Rp 500.000 sampai Rp 700.000. Itu pun tidak mereka terima setiap bulannya. Memang demikianlah adanya, karena belum semua lahannya bisa tergarap. Lahan yang tergarap dengan tanaman semusim pun belum tentu berhasil. Inilah yang kemudian menjadikan mereka seperti tidak berdaya mengelola sumberdaya yang ada.

Bukannya mereka malas? Bukan, mereka tidak malas, karena saya tahu hampir tiada hari tanpa turun ke lahan mereka. Malah mereka merasa kekurangan waktu, karena selain harus ke ladangnya (lahan kering) mereka juga harus ke lahan sawahnya. Sebagian mereka juga mengurusi ternak berupa Sapi, kambing ataupun Unggas. Mereka termasuk sangat rajin, namun ternyata kerja keras mereka belum bisa merubah nasibnya, paling tidak sampai saat ini saat tulisan ini And abaca. Sekarang ini kita di pertengahan tahun 2011, awal bulan Juni. Berarti sudah sekitar 3 (tiga) tahun, dan keadaan kelompok tani tersebut belum ada perubahan yang signifikan.

Itu akan lain seandainya scenario pemikiran saya waktu itu bisa dilakukan. Lalu bagaimana rencana waktu itu?

Kelompok Tani Hijau Lestari ini diskenariokan bekerja sama dengan suatu Koperasi yang bergerak di bidang usaha Agribisnis Singkong secara terpadu. Dengan Agribisnis singkong yang terpadu akan dapat menciptakan kepastian hasil usaha dan pendapatan, bisa menyediakan alternative pakan bagi usaha peternakan Sapi, menyediakan sumber pupuk organic yang gratis dan keuntungan-keuntungan lainnya. Agribisnis SIngkong yang dilakukan secara terpadu dengan industry pengolahan tepung mocaf, peternakan Sapi dan industry kecil menengah Pupuk Organik, akan secara sinergis membuat petani lebih maju, mandiri dan sejahtera. Dan usaha yang terpadu yang melibatkan beberapa pihak akan berjalan lebih sinergis, saling menguntungkan dan dapat memaksimalkan seluruh sumber daya yang ada.


Usaha koperasi ini meliputi :

1. Pembelian Singkong segar dari petani

2. Pengolahan Ubikayu menjadi Tepung Mocaf

3. Peternakan Sapi dengan pakan utama dari limbah Singkong

4. Produksi Pupuk Organik dan Pestisida Nabati dari limbah ternak Sapi

5. Mengelola Biogas dari limbah ternak Sapi

6. Usaha simpan pinjam

7. Kios Saprodi dan Sembako

8. Dll.

Skema kemitraan dengan kelompok tani adalah sebagai berikut :

1. Semua petani yang menjadi anggota Kelompok Tani otomatis menjadi anggota koperasi.

2. Usaha koperasi ini berbasis pada lahan usaha kelompok tani yang berupa lahan kering, yaitu seluas 50 hektar dengan pola kerja sama bagi hasil atau sewa atau kontrak pembelian.

3. Para petani sepenuhnya akan menjadi karyawan koperasi untuk mengelola lahan mereka sendiri dengan manajemen koperasi.

4. Komoditi yang diusahakan adalah Singkong untuk produksi Tepung Mocaf.

5. Koperasi mengelola Pabrik Pengolahan Tepung Mocaf, Peternakan Sapi, Pabrik Pupuk Organik dan Pestisida Nabati, dengan memaksimalkan peran serta para petani sebagai karyawan dengan kapasitas yang disesuaikan kemampuannya.

6. Para petani sepakat melakukan kerjasama ini minimal selama 10 tahun.

7. Kerjasama ini diawasi oleh Pemerintah Daerah secara berjenjang dan dibina oleh instansi terkait yang membidanginya.

Lalu apa saja yang akan dihasilkan dari Sistem Kemitraan antara Koperasi dan Kelompok tani dengan lahan usaha seluas 50 hektar ? Kita harus menggunakan beberapa asumsi dulu, yaitu :

1. Produktifitas lahan SIngkong adalah 60-90 ton per hektar per musim (6-9 bulan), atau rata-rata 10 ton/ha/bulan.

2. Limbah kulit singkong rata-rata sebanyak 30 % dari berat ubi.

3. Jumlah pakan limbah untuk setiap ekor Sapi adalah 25 kg pakan/hari/ekor

4. Rendemen Tepung Mocaf dari ubi Singkong rata-rata 25 %.

5. Rasio luas lahan singkong dan jumlah Sapi yang bisa dipelihara dengan pakan dari limbah lahan Singkong adalah 1 hektar dibanding dengan 4 ekor Sapi, atau 4 ekor Sapi/ha.

6. Jumlah limbah padat kering 5 kg/ekor Sapi, dan limbah cair urine Sapi sekitar 5 liter/ekor/hari.

7. Harga pupuk organic padat kering Rp 1.000/kg, harga pupuk organic cair dari urine Sapi Rp 2.000/liter.

8. Penambahan berat badan Sapi sekitar 0,8 kg/ekor/hari

9. Harga berat hidup sapi sekitar Rp 25.000/kg berat hidup

10. Harga ubi Singkong tingkat kebun Rp 300/kg

11. Harga Tepung Mocaf tingkat pabrik Rp 3.500/kg

Produk dari Sistem Agribisnis Singkong Terpadu seluas 50 ha lahan Singkong, 200 ekor Sapi dengan Pabrik Tepung Mocaf kapasitas menyesuaikan, dll. ini adalah :

1. Setelah mulai panen Singkong maka kapasitas produksi ubi rata-rata adalah sekitar 500 ton/bulan, atau 16.666 kg/hari.

2. Nilai pendapatan petani dari ubi Singkong dengan harga tingkat kebun adalah sebesar Rp 150 juta/bulan atau Rp 5 juta/hari.

3. Produksi limbah kulit singkong segar 150 ton/bulan atau 5 ton/hari.

4. Jumlah Sapi yang bisa dikelola dengan pakan limbah singkong adalah 200 ekor, dengan total penambahan berat badan 160kg, dengan total nilai penambahan harga berat hidup Rp 4 juta/hari.

5. Produksi Tepung Mocaf sekitar 125 ton/bulan, atau 4.166 kg/hari

6. Nilai pendapatan Koperasi dari Tepung Mocaf dengan harga tingkat Pabrik adalah sebesar Rp 437,5 juta/bulan atau Rp 14,583 juta/hari.

7. Jumlah produksi pupuk organic padat sebesar 1.000 kg/hari, dengan nilai Rp 1 juta/hari.

8. Sedangkan pupuk organic cair sebesar 1.000 liter/hari senilai Rp 2 juta/hari.

9. Dll.

Tabel Nilai perolehan hasil dari Kemitraan Sistem Agribisnis Singkong-Mocaf-Sapi Terpadu skala 50 hektar antara petani dan koperasi

No.

Asal sub system kegiatan

Pihak

Petani

(Rp /hari)

Pihak

Petani

(Rp/bulan)

Pihak

Koperasi

(Rp /hari)

Pihak

Koperasi

(Rp /bulan)

1.

Panen Ubi Singkong

5 juta

150 juta

-

-

2.

Produksi Tepung Mocaf

-

-

14,583 juta

437,5 juta

3.

Nilai penambahan berat hidup Sapi

-

-

4,0 juta

120,0 juta

4.

Nilai pupuk organic padat

-

-

1,0 juta

30,0 juta

5.

Nilai pupuk organic cair

-

-

2,0 juta

60,0 juta








JUMLAH

5 juta

150 juta

21,583 juta

437,5 juta

Keterangan : Nilai perolehan tersebut belum dikurangi dengan biaya produksi, biaya operasional, dll.

Dari proyeksi perhitungan di atas terlihat proporsi perolehan petani lebih kecil dibandingkan perolehan koperasi. Sebaliknya nilai perolehan koperasi kelihatan besar. Hal tersebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Nilai perolehan tersebut masih kotor, belum dikurangi biaya-biaya seperti biaya produksi, biaya operasional, pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja serta biaya penyusutan, dll. Pihak Petani memperoleh Rp 150 juta/bulan/50 hektar lahan atau sebesar Rp 3 juta/bulan/hektar. Kalau rata-rata kepemilikan lahan 2 hektar/petani, maka rata-rata perolehan setiap petani adalah Rp 6 juta/bulan/2 hektar. Seandainya biaya-biaya yang dikeluarkan petani itu 1/3 bagian dari jumlah perolehan, maka perolehan bersih petani dari budidaya Singkong mereka adalah Rp 4 juta/bln/2 hektar atau Rp 2 juta/bln/ha.

2. Perolehan petani memang terutama adalah dari sisi budidaya singkong saja, namun tidak menutup kemungkinan bahwa petani juga bisa berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi, baik sebagi karyawan atau sebagai mitra kerja, apakah itu di Pabrik Mocaf, di Peternakan Sapi atau di Unit Pengolahan Limbah, Pupuk & Pestisida Nabati serta Unit-unit lain yang dimiliki oleh Koperasi. Unit-unit lain yang dimaksud seperti : Unit Simpan Pinjam, Unit Toko Sembako dan Saprodi, Unit Bengkel, dll.

3. Kalau misalnya dari kegiatan-kegiatan di koperasi petani juga melibatkan diri, artinya petani masih mungkin untuk meningkatkan pendapatannya. Sebagai contoh bila petani diserahi untuk pemeliharaan Sapi dengan pola bagi hasil, tentu petani tersebut akan memperoleh tambahan penghasilan. Apalagi bila ada lagi kegiatan lain dari koperasi seperti pengangkutan hasil panen, pengupasan ubi singkong, operator mesin pabrik, dan lain-lain, tentu akan semakin menambah pendapatan hasil usahanya itu. Jadi tergantung kepada petani, jenis usaha dan kegiatan apa yang akan dimasukinya. Hal tersebut bisa terjadi karena para petani adalah juga anggota koperasi dan berhak untuk juga berpartisipasi dalam jenis-jenis usaha koperasi.

4. Sedangkan nilai perolehan koperasi tinggi karena masih berupa perolehan kotor dan belum dikurangi biaya-biaya, seperti :

a. Pembelian ubi Singkong dari petani

b. Biaya panen dan angkutan ubi dari kebun ke pabrik

c. Biaya prosesing mulai dari pengupasan, pencucian, perajangan, proses fermentasi, penirisan, proses pengeringan chip, penepungan sampai pengemasan, penggudangan sampai proses marketingnya.

d. Demikian juga pada kegiatan-kegiatan koperasi lainnya seperti pemeliharaan ternak Sapi yang menggunakan banyak tenaga kerja dan biaya operasional lainnya.

e. Dst.

Jika diasumsikan bahwa biaya-biaya itu secara keseluruhan unit itu mencapai 70-80 % dan nilai margin usaha itu 20-30%. Maka nilai perolehan bersih dari koperasi sekitar Rp 4,32 - 6,47 juta/hari atau sekitar Rp 129,5 juta sampai Rp 194,2 juta/bulan. Dari hasil ini maka koperasi akan semakin berkembang dan petani yang masuk di dalam system kemitraan tersebut akan turut maju dan berkembang serta lebih sejahtera.

Apakah hitungan-hitungan di atas ada yang masih dipertanyakan? Bagaimana menurut Anda?

Rabu, 01 Juni 2011

SINGKONG BISA LEBIH HEBAT DARI KELAPA SAWIT

UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT : SINGKONG BISA LEBIH HEBAT DARI KELAPA SAWIT

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Penghasilan masyarakat dari Kebun Plasma Kelapa Sawit di Kecamatan Sebuku baru mencapai Rp 450.000 per bulan untuk kebun plasma seluas 2 (dua) hektar. Artinya jika dihitung per hektar penghasilan petani plasma hanya sebesar Rp 225.000 per bulan. Sungguh angka yang sangat kecil bagi penduduk yang dulunya biasa menerima uang besar dari bisnis ilegal logging.

Apakah itu sudah adil ? Rasanya itu sangat tidak adil. Idealnya rata-rata produksi Tandan Buah Sawit (TBS) itu mencapai 24 ton per tahun dari setiap hektar kebun yang sudah menghasilkan, berarti rata-rata panen sebesar 2 ton TBS per bulan. Jika harga TBS Rp 1.200 per kg, maka akan diperoleh hasil pembayaran dari pabrik sebesar Rp 2.400.000 per bulan dari setiap hektar lahan. Atau Rp 4.800.000 per bulan untuk 2 hektar kebun Kelapa Sawit. Kenyataannya perolehan petani plasma kita baru kurang dari 10 % dari kondisi ideal tersebut.

Namun angka tersebut masih jauh dari kenyataan, karena ternyata produktifitas kebun Kelapa Sawit di Nunukan ini baru mencapai sekitar 50% target produktifitas ideal yaitu baru mencapai sekitar 12 ton TBS per hektar per tahun. Angka tersebut pun penulis peroleh dari angka produktifitas laporan dari salah satu perusahaan inti yang ada di Kabupaten Nunukan. Maka bisa jadi produktifitas kebun plasma masyarakat bisa kurang dari 12 ton TBS per tahun per hektar.

Dari sisi harga TBS pembelian Pabrik Kelapa Sawit juga masih rendah. Rata-rata harga pembelian di tingkat pabrik baru sekitar Rp 900 per kg TBS, sedangkan harga di tingkat kebun setelah dipanen berkisar antara Rp 400 – 600 per kg TBS tergantung jaraknya kebun dari pabrik. Hal tersebut masih belum terhitung ongkos buruh untuk panen dan pengumpulan TBS ke pinggir jalan. Maka bisa jadi yang diperoleh petani hanya sekitar Rp 300 – 500 per kg TBS.

Ini adalah kenyataan yang sungguh pahit di tengah gencarnya semangat menanam kebun dengan komoditi Kelapa Sawit. Sebab dengan penerimaan yang sangat minim tersebut, petani tentu tidak sanggup untuk melakukan pemeliharaan yang baik dan standar. Apalagi harga pupuk juga masih sangat mahal dan ketersediaannya juga belum terjamin. Sarana dan prasarana transportasi juga masih sangat minim, sehingga ongkos angkut pupuk dan barang dirasa masih sangat mahal. Kondisi seperti ini dialami hampir semua petani Kelapa Sawit di Kabupaten Nunukan.

Petani seolah-olah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini, mereka hanya pasrah menerima keadaan yang tidak adil ini. Selama ini Pemerintah Kabupaten Nunukan juga sangat tidak peka dan seolah tidak paham dengan kenyataan yang sangat pahit tersebut. Oleh karena itu harusnya Pemerintah jangan berbangga dulu dengan banyaknya lahan yang dibuka untuk kebun Kelapa Sawit. Jangan juga berbangga kalau di daerahnya banyak Pabrik pengolah CPO, sehingga bisa meningkatkan PAD setiap tahunnya. Janganlah bangga dulu sebelum masalah-masalah petani bisa diatasi dan pendapatan dari Kelapa Sawit cukup mensejahterakan.

Padahal para petani kita ini sudah cukup bersabar menunggu selama sekitar 5 (lima) tahun untuk memperoleh hasil yang ternyata tidak sepantasnya tersebut. Namun cukuplah untuk juga disyukuri sebab bisa membantu untuk biaya anak-anak sekolah di kampung atau tambahan beli beras dan keperluan harian lainnya. Masyarakat plasma Kelapa Sawit termasuk sangat sabar, karena selama ini mereka merasa tidak mengeluarkan biaya-biaya untuk pembangunan kebun sawitnya, itu saja.

Kalau tahu hanya seperti itu, kenapa kita tidak memilih komoditi lain seperti Singkong. Benarkah Singkong bisa lebih menguntungkan bagi masyarakat dari pada Kelapa Sawit? Atau adakah komoditi lainnya yang bisa lebih mensejahterakan dari pada Kelapa Sawit? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sungguh sangat langka kita dengarkan dari para petani plasma Kelapa Sawit ini. Kenapa? Ya, karena selama ini gembar-gembor dari para Pemimpinnya sangat meyakinkan.

Lalu apakah betul Singkong bisa lebih hebat dari Kelapa Sawit? Bagaimana perhitungannya sehingga bisa dikatakan seperti itu?

Singkong itu tanaman semusim yang umur panennya berkisar antara 6 bulan sampai dengan 10 bulan, artinya tidak perlu terlalu lama untuk menunggu hasilnya. Selain itu Singkong sudah sangat familier atau tidak asing bagi semua petani di Kabupaten Nunukan, baik dalam hal cara budidayanya maupun cara mengelola paska panennya. Bahkan sebagian besar masyarakat di daerah pedalaman mengkonsumsi Singkong sebagai makanan pokoknya. Jadi secara budaya dan adat istiadat sungguh tidak asing lagi bagi mereka.

Jika Pemerintah bisa menarik pihak Swasta untuk berinvestasi mendirikan pabrik pengolahan Singkong menjadi produk-produk hilir yang lebih bernilai, sama seperti adanya Investor Pabrik Kelapa Sawit (PKS), maka saya yakin masyarakat akan jauh lebih antusias. Sebab inilah prasyarat pertama dan utama jika kita ingin mengembangkan Singkong, yaitu adanya pabrik yang akan membeli seluruh hasil produksi dari para petani. Sebenarnya seperti itu juga yang dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan Kelapa Sawit, maka untuk mengembangkan Singkong pun prasyarat utama juga harus dilakukan.

Oke lah, kalau misalnya prasyarat itu sudah ada, artinya Pemerintah atau siapa saja bisa menarik investor untuk mendirikan Pabrik yang menampung dan mengolah Singkong, sehingga seluruh hasil produksi Singkong para petani bisa dibeli dengan harga yang wajar. Lalu bagaimana bisa dikatakan hasil pendapatan petani bisa lebih hebat? Terus, betulkah Singkong bisa membuat masyarakat lebih sejahtera?

Petani selama ini menganggap bahwa Singkong bukan sebagai komoditi ekonomi, karena Singkong belum punya pasar yang besar. Petani hanya menanamnya dalam skala lahan yang sempit dan sekedar bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya saja. Belum ada yang bisa membeli dalam jumlah yang banyak dan kontinyu. Keadaan inilah yang akan berubah jika nanti ada Pabrik yang bisa membeli dalam jumlah besar dan secara kontinyu, sama seperti PKS untuk hasil panen Kelapa Sawit petani.

Mari, sekarang kita menghitung proyeksi pendapatan petani singkong dengan skala usaha Singkong untuk luas lahan 1 (satu) hektar. Petani biasa menanam Singkong dengan jarak tanam yang sangat rapat, yaitu dengan jarak 50 cm x 50 cm, ada juga yang sekitar 60 cm x 60 cm, 80 cm x 80 cm, atau sampai jarak tanam sekitar 1 meter x 1 meter. Kalau dihitung populasi pohon per hektar bisa mencapai antara 10.000 pohon, 15.000 pohon, 30.000 pohon atau sampai 40,000 pohon. Atau anggaplah rata-rata yang ditanam petani itu 20,000 pohon dalam setiap hektar.

Jika rata-rata hasil produksi setiap pohon rata-rata mencapai 3 kg saja maka hasil panen per hektar lahan akan mencapai 60 ton ubi. Padahal para petani kita tidak terlalu sulit untuk bisa mencapai produksi per pohonnya rata-rata seberat 5 kg. Hanya dengan sedikit pemeliharaan dan pupuk yang cukup angka 5 kg itu bisa diperoleh. Artinya dalam se hektar petani akan memperoleh hasil sekitar 100 ton dalam setiap musimnya yang selama antara 6 bulan sampai 10 bulan. Atau bisa dikatakan bahwa para petani tidak terlalu sulit untuk bisa memanen Singkong sebanyak 10 ton per bulannya dari setiap hektar lahan.

Seandainya pihak Pabrik yang ada nanti bisa menerima dengan harga di tingkat kebun hanya seharga Rp 300 per kg saja, maka petani yang menanam 1 hektar Singkong tadi akan menerima hasil kebun Rp 3 juta per bulan. Kalau punya kebun 2 hektar makan akan menerima hasil Rp 6 juta per bulan. Apa lagi kalau harga seperti di Jawa atau Sumatera yang bisa mencapai Rp 600 di tingkat Pabrik, maka petani bisa memperoleh Rp 6 juta per bulan per hektar. Nah, kalau mereka rata-rata punya 2 hektar lahan Singkong, maka mereka bisa memperoleh hasil pendapatan sampai Rp 12 juta per bulan. Ini sungguh hasil yang sangat besar jika dibandingkan hasil dari Kelapa Sawit.

Apakah hal ini sulit dilakukan? Saya rasa, kalau membangun Pabrik Kelapa Sawit saja kita bisa, tentu juga demikianlah kita pasti bisa membangun Pabrik Pengolahan Singkong di Kabupaten Nunukan ini.

Kira-kira apa lagi yang kita ragukan dengan hitungan di atas? Bagaimana menurut Anda?