Jumat, 18 Juni 2010

Ristono, dari Varietas Singkong Gajah untuk Alternatif BBM

Ristono, dari Varietas Singkong Gajah untuk Alternatif BBM


Oleh : Oscar Rinto Pangendongan - Samarinda

Bayangkan jika minyak bumi, gas alam, dan batu bara sebagai sumber bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini digunakan habis. Manusia bakal tak bisa berbuat apa-apa? Itulah yang menjadi dasar Ristono melakukan penelitian tentang bahan bakar alternatif di Kaltim. 

SUDAH banyak penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan sumber bahan bakar alternatif. Dari sekian banyak peneliti, Prof Ristono menjadi salah satu ahli yang konsen dalam pencarian sumberdaya alam (SDA) yang dapat digunakan menjadi BBM. Apalagi setelah pelaksanaan konferensi lingkungan dunia di Bali dan pertemuan pemimpin dunia yang dikenal dengan G7 di Hokaido, yang membahas tentang bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi dan batu bara. Maka, pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, ini menjadikan singkong sebagai tanaman penyelamat energi dunia karena dapat diubah menjadi etanol atau alkohol. Senyawa kimia yang umumnya dikenal sebagai bahan pembuat minuman keras (beralkohol). Sisi positifnya, senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan bakar. 

Hal inilah yang membuat Ristono, sejak tahun 2006, hanya berkonsentrasi meneliti jenis tanaman singkong (ubi kayu) sebagai sumber energi alternatif. Meskipun sejak tahun 1992, ia telah mengumpulkan benih singkong di Kaltim, tetapi saat itu belum melakukan penelitian kegunaan singkong sebagai bahan bakar alternatif. Saat itu, dirinya hanya konsen melakukan penelitian tentang singkong sebagai bahan perekat briket batu bara, bioetanol pengganti alkohol, serta ketahanan pangan dan energi.

Perburuan benih singkong pun dilakukannya dengan mendatangi desa bekas lokasi transmigrasi, seperti Rantau Pulung, Marang Kayu, Manggar, Anggana, Sepaku, serta di Pasir. Pengamatan pertumbuhan benih serta pembesaran umbi dilakukan sejak umur 4 bulan hingga 9 bulan.

Dari hasil pengamatan pria yang pernah menjadi pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul ini, pada tahun 2007, dia menemukan satu varietas unggulan yang dinamakan singkong gajah. Benih ini kemudian diujicobakan ke masyarakat di Desa Bukit Parianan, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Juga ditanam di Desa Lamaru Balikpapan, Desa Sepaku Penajam Paser Utara, Berau, Malinau, Paser, dan di Universitas Borneo Tarakan.

“Dari hasil penanaman, hasilnya sangat memuaskan. Berat umbi singkong rata-rata saat berumur 4 bulan hingga 9 bulan berkisar antara 15 hingga 46 kilogram. Sedangkan berat umbi singkong biasa pada umur 4 bulan hingga 9 bulan, umumnya hanya 2 hingga 5 kilogram,” jelas alumni Universitas Tokyo, Jepang ini. 

Upaya memanfaatkan hasil pengamatan bersama Borneo Environmental Community (BEC) ternyata tak semulus yang dibayangkan. Banyak kendala dalam pengembangan singkong gajah.

“Modal yang diperlukan cukup besar, khususnya untuk pembukaan dan penyiapan lahan, serta pembelian bibit, pupuk, pemeliharaan, dan pasca panen. Per hektarenya diperlukan dana Rp 10 juta hingga Rp 20 juta,” papar Ristono.

Namun tantangan itu tak membuatnya menyerah. Bersama Bambang Pranghutomo, Faisal Ahmad, dan Puji Astuti, bekerjasama dengan Pemkot Balikpapan menggelar seminar bertopik Peluang Bisnis Bioetanol di Kalimantan Timur. Kesempatan bagi BEC untuk memamerkan singkong gajah sebagai bahan baku yang cocok dikembangkan di Kaltim. Pada waktu itu varietas unggul dalam produksi di atas 100 ton per hektare. 

Seminar ini berujung pada antusiasme masyarakat yang cukup besar dengan meminta BEC untuk menyebarkan bibit dan teknologi ke masyarakat luas. Tak hanya diminta secara perorangan, namun banyak juga organisasi yang meminta mereka memberikan seminar maupun berdiskusi.

“Kata orang, kesempatan tidak datang dua kali,” tutur Ristono yang menjabat sebagai ketua umum BEC.

Kini, BEC memiliki banyak koleksi singkong unggulan yang diberi nama oleh BEC sebagai Singkong Gajah. Keunggulan varietas ini terletak pada berat umbi, kemudahan penanaman, bisa langsung dikonsumsi sebagai bahan makanan pengganti beras dengan rasa ketan, dan umur panen yang hanya memakan waktu 6 hingga 9 bulan. Benih singkong gajah kini telah tersebar dan dikembangkan oleh BEC di 8 kabupaten kota di Kaltim, seperti Samarinda, Balikpapan, Penajam Paser Utara, Paser, Kutai Kartanegara, Tarakan, Malinau, dan Nunukan. 

“Jika ada kabupaten kota lainnya yang mau bekerjasama dengan kami, tentu kami siap membantu menjelaskan dari proses penanaman hingga pemanenan,” terang pria yang kini telah berusia 59 tahun ini.

Singkong Jadi Etanol 

Singkong sebagai bahan baku nabati (BBN) dapat diolah menjadi bioetanol pengganti premium. Pati yang terdapat di dalam singkong merupakan senyawa karbohidrat yang dapat diubah menjadi glukosa dengan bantuan cendawan Aspergillus sp. Setelah menjadi gula baru diubah menjadi etanol melalui proses difermentasi.

Tahapan pembuatan bioetanol berbahan dasar singkong, dengan cara mengupas singkong kemudian dipotong kecil kemudian mengawetkan singkong dengan cara dikeringkan hingga kadar air 6 persen (gaplek).

Setelah itu, gaplek dimasukkan ke dalam tangki berkapasitas 120 liter sebanyak 25 kilogram. Selanjutnya ditambahkan air hingga mencapai volume 100 liter dan dipanaskan hingga suhu mencapai 100 derajat celsius dan diaduk selama 30 menit sampai mengental. 

Bubur gaplek kemudian dimasukkan kedalam tangki skarifikasi (proses penguraian pati menjadai glukosa), kemudian dimasukkan cendawan Aspergillus sp sebagai pengurai setelah bubur dalam keadaan dingin. Tiap 100 liter bubur pati diperlukan 10 liter larutan cendawan Aspergillus sp atau 10 persen dari bubur.

Setelah dua jam air akan terpisah dari endapan gula kemudian difermentasi. Tangki fermentasi ditutup rapat umtuk mencegah kontaminasi. Proses fermentasi secara anaerob (tidak membutuhkan udara) pada suhu 28 derajat hingga 32 derajat. 

Setelah 2 – 3 hari larutan pati berubah menjadi 3 lapisan, yaitu, lapisan terbawah berupa endapan protein, lapisan tengah air dan lapisan teratas etanol. Hasil fermentasi disebut bir yang mengandung 6 – 12 % etanol. Bir kemudian disedot dan dipisahkan dari endapan protein dengan disaring.

Bir kemudian disuling (destilasi) untuk memisahkan etanol dari air pada suhu 78 derajat celsius. Dari penyulingan dihasilkan etanol 95 persen. Untuk dapat larut dalam bensin diperlukan etanol 99 persen (etanol kering) sehingga dilakukan destilasi absorbent dengan cara etanol kering dipanaskan pada suhu 100 derajat selsius dan dihasilkan 10 liter etanol kering. (*)

Sumber : http://lemlit.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:ristono-dari-varietas-singkong-gajah-untuk-alternatif-bbm&catid=1:latest-news


Selasa, 15 Juni 2010

Membuat Racun Rumput (menjadi) Murah

SERI PENGALAMAN PETANI NUNUKAN

Membuat Racun Rumput (menjadi) Murah

Oleh : Dian Kusumanto

Beberapa waktu yang lalu penulis pernah menyajikan beberapa pengalaman petani untuk membuat atau meramu sendiri racun rumput yang murah tetapi tetap berdaya guna.   Ada 3 resep yang sudah disajikan yaitu Gus Bensol 11, Alur G 12 dan Hervit Top 13.  Nama-nama itu dibuat oleh penulis agar mudah diingat, karena susunan hurufnya adalah singkatan dari unsur-unsur bahan pembuatan   racun rumput hasil rekayasa petaninya.

Gus Bensol 11, disebut demikian karena bahan untuk meramu racun rumput ini terdiri dari : G (garam, U (Urea),  S (Sabun Colek), Ben (Bensin) dan  Sol (Solar).  Kemudian angka 11, artinya semua bahan dengan perbandingan  1 (Kg) : 1 (Kg) : 1 (Wadah) : 1 (Liter)  : 1 (Liter).  Racun rumput yang bersifat kontak ini dibuat petani jika sudah kepepet karena tidak punya uang cukup untuk membeli herbisida atau pada saat stok herbisida kosong tetapi rumput sudah tiba saatnya harus dibasmi.  Penulis mendapatkan resep ini dari Pak Mo di Jalan Sungai Lemo Sedadap Nunukan Selatan.

Alur G 12, terbuat dari Al (Air Laut) 12 liter, Ur (Urea) 2 kg dan G (salah satu nama Herbisida kontak) sebanyak 1 liter.   Semua bahan dicampur dan kemudian dimasak hingga mendidih.    Resep ini sebenarnya untuk menghemat herbisida yang harganya sangat mahal, untuk diperbanyak dari 1 liter menjadi 12 liter agar biaya dalam pembasmian rumput ini menjadi murah bagi petaninya.  Sebenarnya resep ini diperoleh dan dipraktekkan oleh Pak Mustafa, petani Jagung di Sei Jepun Nunukan Selatan, pada saat bekerja di kebun Kelapa Sawit di Lahat Dato Sabah Malaysia.  Sepulangnya dari ‘makan gaji’ di Malaysia Pak Mustafa selalu mempraktekkannya untuk  lahan Jagungnya  di Sei Jepun seluas sekitar 4 hektar.

Hervit Top 13, berbahan Her (herbisida) 1 liter, Vit (Vitsin) 250 gram atau satu kantong dan Top (Toak Pahit) sebanyak 3 liter.  Semua bahan dicampur dan bisa digunakan langsung sebagaimana biasanya.   Resep ini dicatat dari temuan Pak Asri Aziz seorang PPL Sebatik Barat dari beberapa petani binaannya  yang sudah terbiasa digunakan petani.   Menurut petani sebenarnya dulu resepnya hanya menggunakan Vitsin dan  Toak Pahit saja, namun kemudian petani ingin lebih menguatkan efeknya  dengan menambahkan herbisida.

Pada saat penulis  mengikuti  Pekan Daerah KTNA di Kota Tenggarong, sempat bertemu beberapa petani dari  Bengalon Kutai Timur Kalimantan Timur, yaitu Pak Saifuddin,  Pak Gioto dan Pak Ismail.   Dari Bengalon Kutai Timur ini sudah biasa menggunakan resep untuk memperbanyak racun rumput, khususnya yang bersifat sistemik (yaitu R..).   Resep dari Bengalon  ini berbahan Ragi, Urea, Air Hujan dan Herbisida dengan perbandingan  Ragi  Tape (1 kantong),  Urea (1 kg), Herbisida (R) 1 liter dan Air Hujan sampai dengan 5 liter.   Semua bahan dicampur  dan diaduk sampai merata kemudian diperam dalam wadah yang kedap sinar dan disimpan selama 1 minggu.    

Racun rumput ini agar mudah mengingat bahan   pembuatnya    maka disebut sebagai  Heragur AH5, maksudnya Her (herbisida), Rag (Ragi Tape), Ur (Urea) dan AH (Air Hujan) serta 5 maksudnya menjadi 5 liter.

Hikmah berkumpul dengan petani peserta Peda dan Rembug KTNA yang lain lagi adalah pengalaman petani dari Sebatik, yaitu Pak H. Alimuddin Ketua Kelompok Tani Sinar 2000.   Ada resep racun rumput yang berbahan Air Fermentasi Kakao atau sering disebut Air Kakao, Sabun Colek, Urea dan Herbisida kontak (seperti G..).   Cara dan resepnya yaitu,  memasak air biasa yang dicampur sabun colek (setengah kg) sambil terus diaduk sampai rata atau larut dan mendidih.  Setelah itu dicampurkan bahan-bahan lain seperi Urea ( 1 kg),  Herbisida (5 liter) dan Air Kakao (15 liter) dan diaduk hingga merata.

Penggunaan racun rumput oplosan ini adalah sebanyak 200 ml untuk satu tangki Sprayer 16 literan.  Biasa digunakan sebagai racun rumput kontak untuk sawah.   Kelemahan racun rumput ini adalah jika digunakan dengan Sprayer berbahan logam akan mudah korosi atau berkarat.

Agar memudahkan mengingat maka penulis member nama resep ini dengan  Arkosur H 515, maksudnya Arko (Air Kakao), S (Sabun Colek), Ur (Urea), H (Herbisida) dan 515 (5 liter herbisida dibandingkan 15 liter air kakao).

Resep-resep ini adalah karya dari petani yang cukup kreatif untuk mengatasi keterbatasannya tetapi terus berusaha tani dengan biaya yang lebih hemat .   Ini adalah bukti dari kearifan local para petani menghadapi keadaan semakin mahal dan langkanya racun rumput di pasaran.  Harapannya agar resep-resep ini dapat menjadi referensi bagi petani yang lain.  Meskipun ini bukan anjuran teknologi yang paten dan diakui oleh Pemerintah, tetapi silakan saja dicoba untuk kalangan petani sendiri dan kalau perlu dikembangkan dengan resep-resep yang lainnya.

Bagaimana menurut Anda?  Adakah resep dan pengalaman yang lain di sekitar Anda?