...Singkong jadi Andalan Indonesia untuk Pangan, Pakan dan Energi...

Senin, 20 April 2009

Apa itu TEPUNG MOCAL ?


Apa itu TEPUNG MOCAL ?

TENTANG MOCAL

1. Diskripsi Produk 

Kata MOCAL adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang dimodifikasi. Secara definitif, MOCAL adalah produk tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikrobia BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. 

Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula, cita rasa MOCAL menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70%.

2. Karakterisktik MOCAL

MOCAL dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev. 1 - 1995). Walaupun dari komposisi kimianya tidak jauh berbeda (Tabel 1), MOCAL mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung singkong pada umumnya. Kandungan protein MOCAL lebih rendah dibandingkan tepung singkong, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna MOCAL yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa (seperti pada Tabel 2).
 
Tabel 1. Perbedaan Komposisi Kimia MOCAL dengan Tepung Singkong

Parameter ------------------MOCAL --------Tepung Singkong

Kadar Air (%) ---------------Max. 13 --------Max. 13
Kadar protein (%) -----------Max. 1,0 -------Max. 1,2
Kadar abu (%) ---------------Max. 0,2 -------Max. 0.2
Kadar pati (%) --------------85 - 87 ----------82 - 85
Kadar serat (%) -------------1,9 - 3,4 --------1,0 – 4,2
Kadar lemak (%) ------------0,4 - 0,8 --------0,4 - 0,8
Kadar HCN (mg/kg) -------tidak terdeteksi --tidak terdeteksi

Tabel 2. Perbedaan Sifat Fisik MOCAL dengan Tepung Singkong

Parameter -------------------MOCAL ---------------------Tepung Singkong

Besar Butiran (Mesh) --------Max. 80 ---------------------Max. 80

Derajat Keputihan (%) -------88 – 91 ----------------------85-87

Kekentalan (mPa.s) ----------52 – 55 (2% pasta panas),----20 – 40 (2% pasta panas),

                                                     75 – 77 (2% pasta dingin) ----30 – 50 (2% pasta dingin)


Hasil uji viskositas pasta panas dan dingin terhadap MOCAL menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi maka viskositas pasta panas dan dingin akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi mikrobia akan mendegradasi dinding sel yang menyebabkan pati dalam sel akan keluar, sehingga akan mengalami gelatinisasi dengan pemanasan.

Selanjutnya dibandingkan dengan pati tapioka, viskositas dari MOCAL lebih rendah. Hal ini karena pada tapioka komponen pati mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun demikian, dengan lama fermentasi 72 jam akan didapatkan produk MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati tapioka. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan fermentasi yang lama maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga liberasi granula pati menjadi sangat ekstensif.

Sedangkan perbedaan sifat organoleptik MOCAL dengan tepung singkong tertera pada Table 3. MOCAL menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan tersebut diolah. Hal ini karena hidrolisis granula pati menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. 

Tabel 3. Perbedaan Sifat Organoleptik MOCAL dengan Tepung Singkong

Parameter ------------MOCAL -------Tepung Singkong

Warna ----------------Putih ----------Putih agak kecoklatan
Aroma ----------------Netral ---------Kesan singkong
Rasa ------------------Netral ---------Kesan singkong

3. Aplikasi MOCAL

Selama ini tepung singkong digunakan secara terbatas untuk food ingredient, seperti substitusi terigu sebesar 5% pada mie instan yang menghasilkan produk dengan mutu rendah, atau pada kue kering. Namun tepung ini sangat luas penggunaannya untuk bahan baku industri non pangan, seperti lem. Dengan karakteristik yang telah diuraikan di atas, MOCAL dapat digunakan sebagai food ingredient dengan penggunaan yang sangat luas.

Hasil uji coba penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa MOCAL dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mie, bakery, cookies hingga makanan semi basah. Kue brownish, kue kukus dan sponge cake dapat dibuat dengan berbahan baku MOCAL sebagai campuran tepungnya hingga 80%.

MOCAL juga dapat menjadi bahan baku beragam kue kering, seperti cookies, nastar, dan kastengel. Untuk kue basah, MOCAL dapat diaplikasikan pada produk yang umumnya berbahan baku tepung beras, atau tepung terigu dengan ditambah tapioka. 

Namun demikian, produk ini tidak-lah sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, beras atau yang lainnya. Sehingga dalam aplikasinya diperlukan sedikit perubahan dalam formula, atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk yang bermutu optimal. Untuk produk berbasis adonan, MOCAL akan menghasilkan mutu prima jika menggunakan proses sponge dough method, yaitu penggunaan biang adonan. Disamping itu, adonan dari MOCAL akan lebih baik jika dilakukan dengan air hangat (40-60oC).

Kamis, 16 April 2009

Kembangkan Singkong Menjadi Energi Alternatif


Kembangkan Singkong Menjadi Energi Alternatif
Oleh : Dedi Irawan  


BANTEN, DEKOPIN – Peran masyarakat dalam mengembangkan tanaman singkong sebagai sumber energi alternatif patut mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Langkah itu dinilai sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menyediakan dan memanfaatkan bahan bakar nabati bio fuel.

Akhir Maret 2009 lalu, Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) meninjau langsung lokasi penanaman singkong varietas Darul Hidayah di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak. Turut hadir dalam kunjungan tersebut yakni Ketua Dekopinwil Banten Ratu Tatu Chasanah, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus Tauhid, dan Ketua Koptan Bangkit Sejahtera Odih.

Sebagai tahap awal, di lahan seluas 512 hektar, 700 petani mengelola tanaman singkong yang dapat menghasilkan bio fuel 1000 liter per harinya, dengan membutuhkan 7 ton singkong per harinya. Jumlah tersebut diharapkan terus meningkat karena pemerintah provinsi Banten bekerjasama dengan Dekopin berkomitmen mendukung program pembudidayaan singkong ini.

Adi Sasono berharap, kerjasama yang tengah dilakukan dapat memberikan nilai lebih kepada masyarakat dan petani melalui usaha rakyat. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga beban biaya bahan bakar rumah tangga akan berkurang. Dengan demikian, masyarakat dan petani melalui koperasi yang dibentuk mendapat keuntungan usaha dari hasil pemanfaatan tanaman singkong.

Jumat, 10 April 2009

ELOI, Makanan pokok dari Singkong

ELOI, Makanan pokok dari Singkong Masyarakat Pedalaman Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

Oleh : Dian Kusumanto

  Eloi adalah makanan pokok masyarakat pedalaman di beberapa kecamatan Kabupaten Nunukan yang diolah dari Ubikayu alias Singkong. Eloi dibuat dari tepung pati sari ubikayu atau singkong dengan cara dimasak seperti membuat lem tapioka.

Di Kabupaten Nunukan ada 3 (tiga) kecamatan yang masyarakat aslinya mengkonsumsi Eloi sebagai menu makanan pokok hariannya, yaitu Kecamatan Lumbis, Sembakung dan Sebuku. Mereka sebagian juga menanam tanaman Padi Ladang atau Padi Sawah, namun hasil berasnya tidak mereka konsumsi tetapi dijual untuk mendapatkan uang bagi keperluan hidup lainnya. Masayarakat yang menjadikan Eloi sebagai bahan makanan pokoknya adalah dari suku dayak yang di pedalaman, khususnya dari suku Dayak Tujung, Dayak Tegalan dan Dayak Agabag.  

Bahan pembuatan tepung sari ubi, atau sering disebut sebagai tepung Nato, biasanya dibuat dari jenis-jenis Singkong tertentu yang banyak mengandung pati. Beberapa jenis ubikayu atau Singkong untuk bahan tepung Nato adalah jenis Singkong yang pahit. Kenapa dipilih Singkong yang pahit, karena biasanya hama seperti Babi tidak menyukainya. Padahal yang paling sering menjadi ancaman bagi petani adalah serangan hama Babi ini.  

Tepung Nato sebenarnya sama dengan tepung Tapioka, bedanya kalau Tapioka selalu disimpan dalam keadaan kering, sedangkan tepung Nato disimpan dalam keadaan basah bersama air di atasnya. Tepung Nato adalah istilah lokal untuk tepung Tapika basah, khusus istilah pada masyarakat Kecamatan Sebuku, Lumbis dan Sembakung di Kabupaten Nunukan.

Panen optimal tanaman Singkong agar kandungan tepung patinya tinggi atau pada tingkat optimal adalah paling tidak berumur sekitar 6 bulan. Di Kecamatan Lumbis paling tidak ada 4 jenis Ubikayu yang biasa diolah untuk Eloi, yang kesemuanya pada saat umur panen memang terasa pahit, namun rasa pahitnya hilang jika diolah menjadi Tepung Nato, bahan untuk makanan Eloi. Nama daerah Ubikayu untuk bahan Eloi tersebut adalah :
1. Ubikayu Sinalak
2. Uikayu Tadong Kabul
3. Ubikayu Kampuan
4. Ubikayu Inunnulai (kulit putih keperakan)

Menu makan Eloi dihidangkan dan dikonsumsi rata-rata mayarakat tadi minimal 2 kali dalam sehari. Dalam suatu keluarga dengan jumlah anggota sekitar 4 orang dapat menghabiskan Tepung Nato sekitar 1 baskom yang berisi sekitar 5 kg untuk selama 2 hari. Jadi rata-rata konsumsi Tepung Nato adalah sekitar 0,6 kg per hari per orang. Kalau dalam sebulan berarti dibutuhkan sekitar 18 kg/orang atau sekitar 216 kg tepung Nato per orang/tahun.

Ubikayu berkulit kalau dikupas menjadi sekitar 80% Ubikayu kupas, sedangkan Ubikayu kupasan bila diolah menjadi tepung Nato menjadi sekitar 18 %. Jadi kalau dihitung konversi Ubikayu berkulit hasil panen dari kebun menjadi tepung Nato adalah sekitar sekitar 15 %, maka jumlah konsumsi ubikayu sekitar 1.440 kg Ubikayu/tahun/orang. Jadi kalau dalam suatu keluarga ada 4 orang anggota maka diperlukan Ubikayu segar sekitar 5.760 kg Ubikayu/ tahun/ keluarga. Kalau dihitung satu musim Ubikayu dari tanam hingga panen, yaitu selama sekitar 6 bulan berarti diperlukan untuk konsumsi Eloi sekitar 2.880 kg Ubikayu/musim/keluarga. Jika seandainya ada juga kebutuhan Ubikayu untuk kepentingan sosial lainnya seperti pertemuan keluarga, adat dan acara-acara sosial lainnya maka dianggap kebutuhan itu meningkat menjadi sekitar 4.000 kg/musim/keluarga. Atau kalau dihitung perorang mejadi sekitar 1.000 kg  

Kalau diasumsikan bahwa produktifitas kebun Singkong sekitar 50 ton/ha/musim, maka Atau hanya diperlukan kebun Singkong seluas sekitar 800 m2 atau dibulatkan menjadi 1.000 m2 per keluarga dengan 4 orang anggota. Kalau dalam suatu keluarga mempunyai 1 hektar kebun Ubikayu dengan produksi dalam waktu 6 bulan sekitar 50 ton/ha, berarti keluarga tersebut masih mempunyai kelebihan cadangan Ubikayu sekitar 45 ton dalam setiap 6 bulan atau ada cadangan selama setahun sebesar 90 ton.  

Artinya masih sangat berlebih-lebih. Kelebihan ini memang biasa digunakan untuk keperluan-keperluan sosial dan lain-lain. Namun selama ini Ubikayu belum menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan yang bisa diganti dengan uang, mungkin karena semua anggota masyarakat memiliki kebun Singkong yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing, dan memang akses untuk bisa menjual keluar hanya dalam bentuk umbi masih rugi di ongkos transportnya serta belum ada industri yang bisa menampung hasil kebun ini.

Cara membuat Tepung Eloi atau Tepung Nato
Pembuatan tepung Eloi atau tepung Nato ini sama dengan pembuatan tepung Tapioka. Karena sebenarnya yang dimbil adalah sari pati dari umbinya dengan jalan diparut dan diperas, adapun rincinya sebagai berikut :
1. Ubikayu atau singkong dipungut atau dipanen dari kebun
2. Ubi dikupas dan dicuci dengan air bersih
3. Ubi kemdian diparut
4. Hasil parutan ubi ini ditambah air sedikit-sedikit sampil diperas di atas saringan
5. Air sari pati ubi ini dibiarkan dalam baskom agar patinya mengendap
6. Tepung pati berwarna putih bersih ini akan mengendap di bawah permukaan air perasan atau memisahkan diri.
7. Setelah sekitar 2 jam pengendapan dianggap sempurna dan air diatas endapan pati kemudian dibuang.
8. Tepung Eloi yang putih bersih siap untuk diolah menjadi masakan Eloi.
9. Namun apabila ingin disimpan kembali tepung eloi ini selama ini tidak pernah disimpan dalam keadaan kering seperti tepun tapioka, namun disimpan dalam keadaan basah dan diberi air diatasnya. Supaya tahan lama disimpan biasanya air diatas tepung Eloi ini diganti setiap hari, tentu saja airnya harus air bersih.

Cara mengolah makanan Eloi

Eloi merupakan makanan pokok di daerah Pedalaman Kabupaten Nunukan yang funsinya seperti nasi. Eloi dikonsumsi sebanyak 2 sampai 3 kali dalam sehari, yaitu pagi siang dan sore atau malam. Namun menu pagi sebagai makanan sarapan pagi biasanya agak bervariasi. Pada saat musim padi, baik musim tanam ataupun musim panen menu sarapan pagi biasanya dari beras yang dimasak sebagai nasi atau diolah menjadi bubur. Pada musim bukan padi maka menu sarapan pagi kembali kepada bahan ubi. Bentuk olahan ubi sebagai sarapan pagi juga bervariasi, biasanya diolah menjadi bubur (Bubur Kunikutil), Kue Analog, Kue Budung, atau Eloi.  

Sedangkan menu wajib pada siang dan sore hari adalah Eloi yang diolah atau dimasak dengan cara sebagai berikut :
1. Tepung pati ubi diencerkan dengan air secukupnya dengan cara diaduk-aduk terus supaya tetap larut dan tidak mengendap atau menggumpal
2. Sementara itu air dipanaskan pada wajan atau kuwali diatas kompor yang menyala sampai hampir mendidih
3. Larutan tepung pati (no. 1) sambil terus diaduk, dituangkan secara perlahan diatas wajan yang airnya sudah panas tersebut dan kemudian juga langsung diaduk-aduk secara teratur sambil api agak dikecilkan.
4. Dengan terus diaduk sekitar 2-3 menit kemudian larutan tepung diatas wajan sudah berubah warna menjadi putih keruh.
5. Sambil terus diaduk biasanya ditambahkan air lagi ke atas wajan dan Bubur Eloi tadi kemudian berubah menjadi berwarna lebih bening seperti lem, sebagai pertanda bahwa bubur Eloi sudah masak.
6. Wajan diturunkan dari kompor dan bubur Eloi dibiarkan menjadi agak dingin, dan kemudian siap untuk dikonsumsi.

Cara mengkonsumsi Eloi

1. Bubur Eloi dihidangkan langsung dengan wajan tempat mengolahnya
2. Eloi biasanya dihidangkan dengan sayur pucuk ubi. Saur pucuk ubi biasanya juga dibumui dengan garam dan beberapa jenis ikan atau daging hasil buruan.
3. Penyedap masakan biasanya diambilkan dari daun tanaman bernama ”APA” yang memiliki aroma dan rasa seperti vitsin. Tanaman ”APA” ini memang khas tanaman yang ada di hutan pedalaman Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur.
4. Lauk pauk berupa ikan atau daging yang diawetkan dengan cara ”fermentasi” alami dengan bahan yang disebut sebagai ”LANAM”. Lanam dibuat dari ampas tepung ubi yang digoreng sangrai di atas wajan tanpa minyak. Ikan atau daging yang diawetkan dengan lanam disebut dengan ”TAMBA”.

Cara membuat LANAM 
Lanam dibuat dari ampas tepung sisa perasan eloi yang diolah dengan cara sebagai berikut :
1. Ampas dicuil sedikit demi sedikit diremas-remas dengan dua telapak langan agar berurai dengan ukuran serbuk yang merata dan tidak mengumpal.
2. Biasa juga ampas diperas dengan sangat kering dan sedikit dijemur sambil diurai, atau langsung disangrai diatas wajan dengan api yang tidak terlalu besar.
3. Ampas ubi ini terus diaduk-aduk dan dbalik-balik terus menerus sampai agak berwarna kecoklatan dan dianggap sudah masak.
4. Lanam siap untuk disimpan atau digunakan.

Cara membuat ”TAMBA”
Tamba adalah ikan atau daging yang diawetkan atau ”dimasak” dengan cara fermentasi menggunakan ”lanam” dengan cara sebagai berikut :
1. Ikan atau daging biasanya diiris tipis-tipis dulu dan dibuang durinya, baru ditaburi garam.
2. Beberapa saat kemudian daging atau ikan akan mengeluarkan cairan, cairan dikeluarkan dari daging dan ikan dengan cara ditekan-tekan atau diperas-peras.
3. Ikan atau daging yang sudah agak tiris dari cairannya kemudian ditaburi dengan lanam, kemudian disimpan di dalam tempayan atau guci.
4. Tamba siap dikonsumsi apaila ikan atau daging sudah masak. Untuk sampai masak biasanya memerlukan waktu sekitar 1 minggu. Tanda-tanda kemasakan ikan atau daging biasanya adalah dari perubahan warnanya menjadi lebih gelap atau putih gelap.
5. Tamba biasanya tahan atau awet sampai sekitar 1 bulan.

Pemasakan dan Pengawetan Ikan dan Daging dengan ASAP
Asap yang dimaksudkan adalah asap dari tungku yang berbahan bakar kayu di dapur.
1. Ikan atau daging diiris tipis-tipis kemudian dilumuri dengan garam atau lanam, atau bahkan tanpa diberi apapun.
2. Ikan dan daging disusun di atas togong atau susunan kayu yang berjejer agar jarang yang diletakkan di atas pengasapan dapur. Jarak antara togong dengan tungku sekitar 1 meter.
3. Pengasapan tidak dilakukan secara khusus, namun hanya mengikuti aktifitas tungku dapur dengan frekuensi 2, 3 kali atau lebih.
4. Ikan atau daging yang disimpam diatas asap bisa bertahan sampai sebulan atau lebih. Dan biasanya aromanya sangat khas.

Peran Perempuan sangat dominan

Pekerjaan menanam Ubikayu, memelihara kebun ubi, panen ubi, mengangkutnya sampai ke rumah, kemudian mengolahnya menjadi Eloi dan lain-lain dlakukan hanya oleh para wanita atau perempuan atau para ibu. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasanya dilakukan secara bergotong-royong, bisa 4,5 atau lebih wanita. Secara bergantian mereka bergotong-royong untuk memanen, mengangkut sampai memngolah Eloi bagi satu keluarga, meskipun mereka dari beberapa keluarga yang lain. Pada hari berikutnya berganti kepada keluarga yang lain, mereka tidak menghitung beapa besar jumlah anggota masing-masing, yang penting bisa mencukupi keperluan bagi keluarga yang sedang menjadi sasaran gotong royong tersebut.

Mereka bergotong-royong untuk kegiatan menanam, memanen, mengangkut ubi ke rumah sampai mengolahnya mejadi tepung pati ubi. Kalau 4 orang berarti secara bergotong royong membawakan sebanyak 4 kelong ( keranjang rotan yang digendong) ubi untuk salah satu keluarga. Banyaknya jumlah Ubi yang dipanen disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing keluarga sasaran gotong royong tersebut. Ini dilakukan secara bergantian dari keluarga satu ke keluarga yang lain. Dengan demikian beratnya beban pekerjaan rutin ini menjadi lebih ringan dirasakan karena dikerjakan secara bersama-sama dan dilakukan dengan senang hati. Hal ini termasuk sebagai kearifan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan.

Namun demikian kaum perempuan tidak dapat mengakses pendapatan tambahan yang bernilai ekonomi dari kebun ubikayu ini.. Hal ini disebabkan karena hasil kebun yang ditanam belum bisa dijual menjadi uang, belum terbentuk sistem perniagaan atau agribisnis ubikayu. Belum ada lembaga atau swasta atau pegusaha yang menampung ubikayu atau produk olahan lainnya. Demikian juga Eloi, belum menjadi komoditi yang bisa dijual atau diukar menjadi uang, karena sistem budaya dan keadaan masyarakat yang masing-masing sudah memilki Eloi yang bisa digotong-royongkan.

Yang sudah mulai berlaku adalah mengupahkan pemarutan ubi kepada yang memiliki mesin parut dengan mesin. Upah jasa pemarutan belum bersifat sebagai usaha yang terbuka, masih semi bisnis dan sosial. Besarnya upah juga belum ada standardnya,namun biasanya sekitar Rp 5.000 per kelong ubi. Satu kelong atau keranjang beratnya bervariasi tergantung padat dan banyaknya isi, yaitu antara 20-30 kg. Katakanlah rata-rata ada 25 kg ubi per kelong, berarti upah nya sekitar Rp 200/kg ubi. Satu kelong kalau diambil patinya menghasilkan sekitar 1 baskom dengan berat sekitar 5 kg.

Kalau dari kebun dipanen 4 kelong ubi untuk satu keluarga berarti akan menghasilkan sekitar 20 kg tepung Eloi. Rata-rata konsumsi tepung Eloi per keluarga dengan anggota 4-5 orang sekitar 3,5 kg tepung Eloi per hari. Jadi 20 kg tepung Eloi bisa ntuk persediaan selama 5-6 hari. Jadi bagi Ibu-ibu yang bergotong royong untk melakukan aktifitas bersama ini ada jeda waktu antara 1-2 hari. Kalau anggota gotong royong ini ada 4, berarti dalam satu putaran gotong royong ini, selama 4 hari berturut-turut ke kebun dan mengolah Eloi kemudian ada jeda atau istirahat 1-2 hari tidak ke kebun.

Tepung Eloi atau tepung Nato basah bisa disimpan selama sekitar 1 bulan dalam keadaan basah di baskom dengan diberi air diatasnya, dengan cara setiap hari airnya diganti dengan air yan bersih. Kalau tidak diganti dalam waktu 2-3 hari akan terjadi fermentasi dan berbau, rasa Eloinya sudah berubah jika dimasak.  

Kadang untuk keperluan tertentu Eloi dimasak dalam jumlah banyak, sehingga tersisa untuk konsumsi hari itu. Eloi sisa konsumsi sehari sebelumnya masih bisa dikonsumsi lagi dengan cara dimasak ulang dengan penambahan Tepung Eloi baru dengan air secukupnya yang dimasak diatas perapian, diaduk-aduk bercampur dengan Eloi masak yang tersisa tadi.  

Konsumsi Eloi ini tetap dilakukan bila masyarakat sedang berada di luar daerah. Kalau tidak tersedia Tepung Eloi, mereka biasanya membeli Tepung Kanji atau Tepung Tapioka untuk penggantinya. Cara memasaknya sama. Namun aromanya berbeda, tidak seenak bila dibandingkan dengan tepung Eloi yang baru.  

Cara pembuatan Kue Inalog
Kue Inalog adalah sejenis camilan atau kue yang terbuat dari Tepung Eloi atau Tepung Nato atau Tepung Kanji Basah. Cara membuatnya sebagai berikut :
1. Tepung Eloi dibuat berbentuk butir-butir kecil dengan cara meremas dengan menggesekkan dua elapak tangan langsung di atas wajan yang sudah dipanasi.
2. Butir-butir akan jatuh di atas wajan yang panas dibentuk bundar tipis-tipis saja.
3. Kadang Tepung Eloi ini dicampur dengan Gula dan Garam atau parutan kelapa secukupnya, kadang-kadang tidak diberi apa-apa, artinya tepung saja.
4. Setelah butiran tepung merata berbentuk bundar tipis-tipis kemudian ditutup dengan selembar daun pisang. 
5. Sekitar 2-3 menit kemudian kue Inalog sudah masak ditandai dengan warna yang menjadi putih dan sedikit kecoklatan karena panas. 

Jumat, 03 April 2009

Info dari BIG CASSAVA





Info dari BIG CASSAVA :

PROYEK PENGEMBANGAN BUDI DAYA SINGKONG VARIETAS DARUL HIDAYAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAP KEHIDUPAN EKONOMI PETANI,SEKALIGUS MENGINTIP PELUANG PENGEMBANGAN BAHAN BAKU BIOFUEL

A.PENDAHULUAN 

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Pengembangan prakarsa kemandirian harus didorong dengan cara mengembangkan berbagai potensi masyarakat, memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan hasil – hasil dari prakarsa dan pemanfaatan tersebut, sehingga berbagai upaya dimaksud harus berujung dan bertumpu kepada kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah yang bersangkutan, berdasarkan sendi – sendi keadilan dan pemerataaan.

Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan sector AGROBISNIS, yang memang sudah merupakan ciri utama dan mayoritas kehidupan masyarakat di negara kita, dimana sebagian besar penduduknya bertempat tinggal dipedesaan, dengan hidup mengandalkan dari sector pertanian. Berdasarkan Program Menteri Pertanian dengan keputusan Menteri Pertanian Nomor : 867/kpts/TP.240/11/98 tertanggal 4 Nopember 1998 di Jakarta perihal PELEPASAN UBI KAYU LOKAL DARUL HIDAYAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA DARUL HIDAYAH

Hanya saja berbagai upaya yang telah dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun berbagai kelompok lain dalam memberdayakan sektor Pertanian selalu terbentur pada persoalan pokok, yaitu harga jual yang selalu rendah pada saat terjadi panen, produktifitas satuan lahan yang kecil, dan persoalan pemasaran.

Untuk mewujudkan harapan dan tujuan tersebut, kami BIGCASSAVA.COM atau SINGKONGRAKSASA.COM telah memulai rintisan sejak lima tahun yang lalu, dengan mencoba mengembangkan budi daya singkong Darul Hidayah ( Singkong Raksasa ), yang merupakan bibit unggul dari singkong – singkong yang ada saat ini, dan telah terbiasa dibudidayakan oleh petani secara konvensional.


Pengembangan singkong Darul Hidayah adalah merupakan jawaban dari persoalan dan rendahnya produktivitas persatuan lahan, dimana untuk jenis singkong konvensional biasanyan hanya dihasilkan sebesar 40 – 50 ton/ha lahan tanaman bahkan terkadang hanya mencapai 20 – 25 ton /ha lahan tanam. Sedangkan singkong Darul Hidayah setelah melalui uji tanam atau Pilot Project I diketahui dapat menghasilkan singkong sebagai hasil tanaman sebesar 100 – 150 ton/ha lahan tanam. Bahkan sejak bulan April 2006 sampai dengan September tidak turun hujan ( kemarau ) singkong Darul Hidayah tetap berkembang panjang umbinya mencapai satu meter per batang ubi kayu , Bahkan tidak sedikit jenis singkong Konvensional yang mati daun dan batang sehingga gagal panen.


Selain itu BIGCASSAVA.COM memilih komoditas singkong sebagai garapan utamanya didasarkan pada hasil survey dan analisa market, bahwa kebutuhan berbagai jenis industri yang memanfaatkan singkong sebagai singkong sebagai bahan bakunya sangat besar, seperti industri makanan, industri farmasi, industri kimia, industri bahan bangungan, industri kertas, Industri BIOFUEL. Akibatnya beragamnya jenis industri yang memanfaatkan singkong sebagai bahan baku utamanya, tidak heran kalau dari singkong dapat dihasilkan 14 macam produk turunan. Kebutuhan bahan baku singkong tersebut bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk kebutuhan import, dan ironisnya kebutuhan kebutuhan industri dalam negeri masih mengimport bahan baku industrinya, padahal bahan tersebut berasal dari bahan dasar singkong

Hal lain yang sangat penting dari budi daya singkong ini cenderung dapat ditanam pada jenis tanah apapun di satu sisi sedangkan pada sisi lain dapat mengoptimalkan lahan – lahan yang belum maksimal produksi, sehingga apabila kegiatan – kegiatan tersebut tumbuh kembangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu :

Dapat mencegah urbanisasi ke kota – kota besar 
Terbukanya lapangan kerja baru 
Termanfaatkannya lahan – lahan yang belum optimal produksi 
Meningktanya kesejahteraan masayarkat petani 
Meningkatkan IPM daerah Kabupaten Sukabumi

Kegiatan pengembangan Budi daya Singkong dengan cara optimalisasi lahan – lahan yang belum dan dalam rangka membangun agro bisnis dan agro industri yang terintegrasi, sangat sejalan dengan PERDA Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 Tentang rencana Strategi Propinsi Jawa barat tahun 2001 – 2005, dimana didalamnya memuat aspek pemanfaatan lahan tidur secara optimal guna meningkatkan prouktivitas pertanian.


B. PELUANG PASAR, KESEMPATAN KERJA & LUAS AREAL TANAMAN SINGKONG

Sebagaimana diuaraikan di atas peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat terbuka, hal ini tidak lain karena kebutuhan produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar singkong seperti Gaplek, Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti industri makanan & minuman ( kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan bangunan ( Gips & Keramik ), Industri kertas, industri pakan ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan tujuan eksport adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.

Potensi Singkong

UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi. 

Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3 (13.300.000 ton) setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton, kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan. 

Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan sebagainya. 


Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton. 

Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical grade atau produk bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand. 

Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang batas. 

Memang budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida, terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke pengendapan dan memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO harus kurang dari 0,05 ppm. 

Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia. 

Tahun 1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung tapioka, umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di luar ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME. 

Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong Indonesia, misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar menjadi gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain karena "tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain, banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk bahan baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih tinggi dan terasa pahit. 

Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan. 

Bahwa bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur. 

Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit. 

Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha. 

Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 - 35 ton/ha. 

Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB 


C. MENANAM BENSIN DIKEBUN SINGKONG

  [ ilmu & Teknologi, Gatra No:13 Beredar senin, 7 Februari 2006] 

MENTERI Riset Dan Teknologi Kusmayanto Kadiman ternyata bisa juga jadi supir, Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung itu tanpa canggung duduk dibelakang setir Land Rover Discovery. Penumpangnya Direktur Jenderal Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas ini meluncur dari Gedung BPPT di jalan M. H. Thamrin menuju Monumen Nasional, lalu kejalan Jenderal Sudirman dan Memutar lagi di Jembatan semanggi balik lagi ke BPPT.

Tak lama Kusmayanto jadi supir kamis terakhir dibulan Januari itu hanya memamerkan kinerja mobil berbahan bakar Singkong Tapi demo Kusmayanto belum berakhir”Saya akan Promosikan ke Istana Negara,”katanya . Namun sebelum beranjak ke Istana rupanya gayung sudah bersambut oleh Gubernur Sutiyoso. Ia akan menjajaki penggunaan “ Bensin Singkong “ itu untuk taksi di Jakarta.

Bensin Singkong? Tepatnya bensin dioplos alcohol yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal dengan sebutan gasohol atau gasoline-alkohol. Penelitian gasohol giat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bensin yang diyakini bakal habis ditambang. Salah satunya alternatifnya mencampurkan etanol kedalam bensin. Etanol mengandung 35 % oksigen, sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran. Juga menaikkan Oktan, seperti zat aditif ( methyl tertiary buthyl ether – MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL) yang umum dipakai berbeda dengan TEL, Etanol bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.

Tak mengherankan pemakain Etanol di dunia makin dan makin Besar, Produksi etanol dunia untuk bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 Milyar liter ( 2001) menjadi 31 Milyar liter ( estimasi 2006). Beberapa Negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada. Uni Eropa dan Australia sudah menggunakan campuran 63% etanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi tangki Land Rover Pak Menteri itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi Bioetanol 10 % dan Bensin 90 %. Dengan porsi 10 % kerja mesinnya bisa optimal, “kata Agus Eko Tjahyono. Kepala Balai Besar Teknologi Pati, Lampung.

Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru, di Lampung, gasohol sudah bertahun – tahun mengisi tangki mobil dan motor para pegawai Bali Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat Jakarta. Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan teknis dari lembaga penelitian Jepang,JICA. Mereka terus mengembangkan teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak berharga itu – di lampung, tiap kilogramnya, harganya tak lebih dari harga sepotong ubi goreng di Jakarta – menjadi bahan bakar bernilai tinggi. Hasilnya ?”sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah didunia. “kata Agus Eko Tjahyono.

Sumber Bioetanol memang tak Cuma singkong, bisa juga tebu,sagu,jagung,gandum,bahkan limbah pertanian seperti jerami. Di Amerika yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung,tapi Agus yakin bahan bakar Bakar alternative dari singkongnya mampu bersaing di pasar.

Teknologi kami makin efisien. Ongkos Produksi lebih murah dari minyak tanpa subsidi, “ katanya untuk skala kecil, kapasitas 60.000 liter per hari biaya produksinya Rp. 2.400, lebih rendah dibandingkan dengan bensin yang berkisar Rp. 2.600. Menurut Agus, Gasohol juga bisa mensejahterakan Petani. Contoh tahun 2004, konsumsi bensin 15 Juta Kilo liter. Jika 20 %nya diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. Setiap liter alcohol. Dihasilkan dari 6,5 Kilogram Singkong artinya butuh 2 juta ton singkong dari lahan 100.000 hektare.

Apabila menggunakan singkong Varietas unggul Darul Hidayah hanya memerlukan lahan seluas 13.500 Ha. Dengan menanam singkong Varietas unggul dapat mengefisiensi :

Lahan 
Bibit 
Pupuk 
biaya garapan( olah lahan ) 
penyiangan rumput 
biaya panen 
biaya angkut 
Hasil panen lebih optimal dalam waktu yang lebih singkat sebesar 100 sampai 150 ton dalam jangka waktu 1 tahun, dari pada singkong konvensional panen dengan hasil 100 - 150 ton dalam jangka waktu 4 tahun

Sedangkan untuk kebutuhan tersebut utnuk memenuhi pasokan kebutuhan lokal saja BIGCASSAVA.COM hanya mengambil 30 % dari kebutuhan yang ada atau sekitar 100 ton singkong segar/hari. Apabila target 100 ton singkong segar / hari diolah dalam bentuk chips singkong sebagai bahan ½ jadi, maka bila 50% dari 100 ton diolah dengan cara padat karya, berdasarkan pengalamn Pilot Project I per orang setiap harinya mampu menghasilkan Chip singkong segar sebanyak 300 Kg, artinya apabila setiap harinya dilakukan produksi chip sebesar 50 Ton atau 50.000 kg berarti menyerap tenaga kerja sebanyak 167 orang pekerja/hari, dengan upah chips sebesar Rp. 6.000/100. Dengan demikian seorang tenaga kerja chips yang bekerja dari jam 07.00 pagi s/d 13.00 siang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 18.000/orang/hari.

Untuk mendukung Program pengembangan budi daya tanaman singkong Darul Hidayah di Kabupaten Subang sehingga dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan, maka diperlukan suatu upaya yang terintegrasi dan Sinergis antara Kopersai, Petani, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi maupun Pemerintah Pusat, agar dapat tujuan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat petani dapat tercapai. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan cara memanfaatkan lahan – lahan tidur baik yang dikuasai Pemda maupun dinas Perkebunan juga Dinas Kehutanan. Dimana berdasarkan hasil survey dan pertemuan dengan beberapa instansi terdapat ribuan Ha lahan yang menganggur tidak dimanfaatkan secara optimal.

Untuk pupuk kandang BIGCASSAVA.COM telah bekerjasama dengan Koperasi Susu Perah Gunung Gede Sukabumi& Peternak Ayam potong di Warung Kiara Kabupaten Sukabumi

Pemasaran singkong (segar, Gaplek, tepung ) diperuntukan :
1.Pakan Ternak Sapi Perah , yang sangat tinggi akan karbohidrat yang dapat membantu menambah produksi susu.
2. Eksportir Gaplek Tepung untuk MEE & Asia khususnya China
3. Pabrik Tapioka
4. Pabrik Etanol

Membuat Mie Pangsit dengan Tepung Cassava


Membuat Mie Pangsit dengan Tepung Cassava

Bahan Mie Pangsit : Tepung Cassava 10 kg, Tepung Terigu 7,5 kg dan bahan-bahan lain seperti garam, bahan pengembang dan air

Tepung Cassava bahan substitusi yang mengganti dominansi tepung terigu yang harganya semakin mahal.  Dengan tepung cassava, maka unit cost mie pangsit semakin murah, nantinya juga membantu mengurangi ketergantungan impor tepung terigu sebesar sekitar 5 juta ton per tahun.


Semua bahan diracik, dicampur dengan komposisi yang harus pas agar pembuatan mie bisa berhasil dengan mutu yang cukup baik, tidak menggumpal, tidak juga pecah atau hancur.


Bahan-bahan dicampur dan diaduk dengan alat pencampur atau mixer.

Adonan dibuat dengan kekenyalan tertentu... kemudian dibuat lempeng-lempeng adonan berbentuk pipih.  Diulang-ulang penggilingannya yang semula lempengan agak tebal menjadi semakin tipis dan cukup kenyal.


Setelah lempengan adonan sudah cukup kenyal dan cukup tipis sesuai ukuran ketebalan mie pangsit, kemudian dimasukkan ke alat pencetak mie pangsit.


Biasanya mie agar tidak melengket-lengket dibantu juga dengan pengipasan sehingga permukaan luar mie pangsit yang baru jadi agak kering dan tidak mudah melengket dan menggumpal lagi.

Mie pangsit yang sudah dicetak kemudian dikukus sambil terus dibalik-balik, diurai-urai supaya tidak menggumpal dan melengket-lengket.

Mie pangsit dengan bahan tepung singkong plus terigu sudah jadi

Membuat Tepung Cassava


Membuat Tepung Cassava


Panen Ubikayu alias mencabut Ubikayu

Ubikayu sudah dikupas dan dicuci bersih.   Setelah itu ubi kupas ini dipotong tipis-tipis agar cepat kering kalau dijemur matahari

Mengupas ubi dan sekaligun merajang-rajang atau memotong-motong agar cepat kering kalau dijemur

Ubikayu dijemur diatas lantai jemur atau terpal atau sak plastik bekas.  Kalau panas teriknya cukup, maka ubikayu potongan ini akan kering setelah 2 hari

Potongan Ubikayu kering digiling dengan penggiling tepung

Tepung Cassava sudah jadi

Membuat Tepung Cassava

Singkong Sambung

SINGKONG SAMBUNG


Tanah digulud-gulud atau digunduk-gunduk dengan jarak tanam tertentu.  Beberapa alternatif jarak tanam : 2 x 2,5 m2;  1,5 x 2,5 m2; dll.

Penyiapan bibit Singkong Sambung.  Sambung Batang.

Bibit Sambung sedang disiapkan

SINGKONG SAMBUNG

Sosok tanaman dengan Bibit Sambung.  Pertanaman dengan bergulud-gulud agar Ubi leluasa berkembang di tanah yang gampang merekah.


Pertanaman Singkong dengan jarak tanam sekitar 1,5 m x 2,5 m, dibuat bergulud-gulud dengan jarak 2,5 m, sedangkan jarak antar tanaman adalah 1,5 m.


Umbi Singkong ini besar-besar.  Sebelum dipanen atau dicabut tanah bagian atas dikurangi sampai terlihat ubi seperti gambar diatas dan tanah disiram agar menjadi lunak.  Kalau tanah lunak mencabut tidak terlalu berat dan tidak gampang patah ubinya.



Bisa dibandingkan besarnya kan?? Botol Kecap Manis saja kalah besar.  Berat rata-rata per pohon sekitar 40 kg.

Rabu, 01 April 2009

TEPUNG KASAVA SINGKONG



TEPUNG KASAVA SINGKONG

Peduli Pangan, Manfaatkan Singkong
(hms/08 Mei 2007)

Untuk mengangkat status singkong agar menjadi bahan pangan yang mempunyai prestise cukup baik, Badan Litbang Pertanian akan menyelenggarakan Talk Show ”Singkong Sumber Pangan Sehat : Kupas Tuntas Manfaat Singkong”. Acara ini akan digelar pada 12 Mei 2007, jam 10.00 di Gedung Semanggi Expo, Jakarta.

Talk Show tersebut akan diselenggarakan di sela-sela acara pameran Agro & Food Expo yang berlangsung pada tanggal 10 – 13 Mei 2007, di Panggung Utama gedung Semanggi Expo Jakarta. Talk Show akan menghadirkan pembicara antara lain para praktisi, peneliti, pengusaha tepung kasava dan industri makanan, serta perwakilan masyarakat yang menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Acara akan dipandu oleh salah seorang selebriti ternama yang peduli akan sumber-sumber pangan sehat yaitu Dik Doang.

Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa singkong setelah diproses menjadi tepung kasava merupakan salah satu tepung yang paling cocok sebagai pengganti terigu. Ketiadaan gluten pada tepung kasava perlu dilihat sebagai keunggulan, sehingga secara kesehatan dapat digunakan untuk diet bagi penderita autis. 

Penganan seperti mie dan roti menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, yang menandakan bahwa penggunaan terigu untuk dua produk tersebut sangatlah tinggi. Penelitian juga mengungkapkan bahwa kemampuan substitusi tepung kasava pada mie dan kue kering/biskuit dapat mencapai 50%, untuk roti 25% sedangkan untuk cake dapat mengganti 100% terigu. Dengan demikian, peluang tepung kasava sebagai sumber pangan sangat besar.

Hak Cipta © 1997-2009 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Indonesian Agency for Agricultural Research and Development)
Jl. Ragunan 29 Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540, Indonesia

Telp. (021) 7806202 Fax. (021) 7800644 e-mail: info@litbang.deptan.go.id


MEMPRODUKSI GAPLEK DAN PATI SINGKONG






MEMPRODUKSI GAPLEK DAN PATI SINGKONG

Di pasar internasional, gaplek dikenal dengan nama dagang casava. Sementara pati singkong (tepung aci, tepung kanji) disebut sebagai tapioka. Masyarakat Jakarta malahan menyebut tepung aci ini sebagai “sagu”. Padahal jelas sekali perbedaan antara tepung sagu dengan pati singkong. Yang disebut gaplek adalah singkong (ketela pohon, ubi kayu = Manihot esculenta/Manihot utillisima) yang telah dikupas dan dikeringkan. Biasanya pengupasan dilakukan secara manual dengan pisau dan tangan. Sementara pengeringannya dilakukan dengan cara menjemurnya langsung di bawah panas matahari.

Tepung tapioka adalah pati singkong. Pati ini diperoleh melalui penghancuran singkong segar, pelarutan dengan air, pemerasan, pengendapan pati dan pengeringan. Masyarakat tradisional melakukan proses ini secara manual dengan mengupas singkong, memarutnya, memberinya air, memeras lalu mengendapkan air perasan hingga diperoleh pati yang kemudian dijemur sampai kering.


Meskipun singkong berasal dari Amerika tropis dan baru ditanam di Indonesia setelah kedatangan bangsa kulit putih, namun pengembangan dan pemanfaatannya sudah demikian luas. Di Jawa Tengah, terutama di kawasan-kawasan yang kering, gaplek merupakan komoditas pangan yang penting. Tepung gaplek yang diberi air dan dikukus akan menjadi tiwul, yang oleh sebagian masyarakat dijadikan makanan pokok. Apabila proses pengeringan gaplek tidak sempurna hingga berjamur (sebagian berwarna hitam dan cokelat) maka akan diperoleh komoditas yang dikenal sebagai “gatot”. Selain ditepungkan untuk bahan tiwul, gatot juga bisa direndam, dijadikan serpih kecil-kecil secara manual dan dikukus untuk langsung dikonsumsi.

Selain lebih lezat, gatot juga bergizi lebih baik karena jamur (kapang) yang merusak pati singkong tersebut justru menghasilkan protein dan asam amino yang sebelumnya tidak terdapat pada singkong. Proses pembuatan gatot sedikit lebih rumit dibandingkan dengan gaplek. Singkong yang telah dikupas, dijemur sebentar untuk mematikan sel-sel (jaringannya) tetapi jangan sampai kering. Biasanya penjemuran cukup dilakukan selama sehari sampai dua hari. Selanjutnya singkong diperam dalam wadah yang tertutup rapat sampai berjamur. Setelah itu singkong dijemur lagi sampai kering untuk disimpan sebagai gatot.


Dalam masyarakat modern, tepung casava adalah bahan pakan ternak yang cukup penting, terutama untuk ternak unggas. Bersamaan dengan jagung, bungkil, dedak, dan tepung ikan, gaplek merupakan bahan utama pakan unggas dan juga ternak ruminansia serta babi. Fungsi gaplek adalah sebagai sumber serat dan karbohidrat bermutu namun harganya murah. Karena singkong hanya bisa ditanam di kawasan tropis, maka kebutuhan gaplek negara-negara sub tropis disuplai dari Afrika dan Amerika tropis serta Asia Tenggara. MEE, AS dan RRC merupakan “konsumen” gaplek dengan volume cukup besar.

Seharusnya Indonesia sebagai negara tropis bisa menangkap peluang ini. Namun kenyataannya kuota ekspor gaplek dan tepung tapioka kita ke MEE hampir selalu tidak bisa kita penuhi. Bebarapa kali kita terpaksa mengimpor dari Thailand untuk kita reekspor ke MEE. Hingga Thailand pun protes ke MEE agar kuota mereka dinaikkan serta Indonesia diturunkan. Masalahnya adalah, Indonesia sendiri sebagai penghasil singkong, sekaligus juga merupakan konsumen yang cukup besar pula. Industri ternak unggas kita yang maju pesat, tentu memerlukan suplai pakan yang akan cenderung makin banyak juga. Hingga kebutuhan bahan pakan ternaknya pun akan terus bertambah besar. Termasuk kebutuhan gapleknya.


Kalau dalam kehidupan modern gaplek labih banyak digunakan untuk bahan pakan ternak, maka sekarang tepung tapioka justru merupakan bahan makanan manusia yang cukup penting. Dulu, pemanfaatan tepung tapioka hanyalah untuk lem dan kanji guna mengeraskan dan melicinkan pakaian sebelum diseterika. Tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, penggunaan tepung tapioka terbanyak adalah untuk bahan baku gula cair (High Fructose Syrup = HFS), asam sitrat, bakso dan kerupuk.

Negara-negara maju seperti MEE, memerlukan tepung tapioka untuk menunjang industri HFS dan asam sitrat mereka. HFS dan asam sitrat merupakan bahan baku utama berbagai minuman instant yang diberi embel-embel “sari buah”. Sementara di dalam negeri, kebutuhan tepung tapioka juga terus naik sehubungan dengan tumbuhnya kebiasaan makan “mie bakso” dengan kerupuknya, serta kebiasaan menyantap singkong goreng di kakilima. Bahan utama bakso adalah tepung tapioka dan daging segar (daging yang belum dilayukan). Karenanya, meskipun industri tepung gaplek dan tapioka tumbuh di mana-mana (terutama di Lampung), namun kuota ekspor kita ke MEE tetap tidak kunjung bisa terpenuhi. Bahkan trend terakhir, harga gaplek dan tepung tapioka di dalam negeri menjadi lebih tinggi dari harga ekspor (FOB).


Kelangkaan gaplek dan tepung tapioka ini sedikit banyak juga disebabkan pula oleh turunnya minat masyarakat untuk menanam singkong. Harga singkong yang setiap panen raya antara bulan Juni, Juli dan Agustus hanya sekitar Rp 100,- (pembeli mencabut sendiri) atau Rp 200,- (pemilik melakukan pencabutan). Telah menyebabkan masyarakat enggan untuk menanam singkong. Dengan hasil rata-rata 10 ton per hektar, maka pendapatan kotor seorang petani singkong hanyalah Rp 1.000.000,- dari tiap hektar lahan mereka. Dengan mengolahnya lebih lanjut menjadi gaplek dan tepung tapioka, maka keuntungan petani akan bertambah besar. Sebab harga gaplek di tingkat petani mencapai Rp 800,- per kg. sementara tepung tapioka bisa sampai Rp 2.000,- per kg.

Dari 1 ton (1.000 kg.) singkong segar dengan harga Rp 200.000,- 10% terdiri dari kulit dan bagian yang harus dibuang. Sementara sekitar 60% adalah air. Hingga, dari 1 ton singkong segar tersebut, akan dihasilkan gaplek (berkadar air 14%) dengan bobot 440 kg. Kalau harga gaplek di tingkat petani Rp 800,- maka nilai gaplek tersebut adalah Rp 352.000,- Ongkos kupas dan jemur sekitar Rp 100.000,- hingga masih ada marjin Rp 52.000,- untuk tiap ton singkong segar. Sementara upah cabut (Rp 100.000,-) dan upah kupas serta penjemuran (juga Rp 100.000,-) sebenarnya juga dinikmati oleh para petani sendiri. Hingga keuntungan yang Rp 52.000,- per ton singkong segar tersebut merupakan nilai tambah riil yang dinikmati oleh pemilik singkong.


Kalau singkong diolah menjadi tepung tapioka, maka nilai tambahnya akan makin besar. Peralatan untuk mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka, tidak harus berupa mesin-mesin mahal. Alat pemarut kelapa yang banyak dijumpai di pasar dan warung-warung itu pun, bisa digunakan untuk mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka. Selain itu juga diperlukan alat pemeras (pengempa) dan wadah untuk mengendapkan tepung tapiokanya. Biaya investasi untuk peralatan ini diperkirakan antara Rp 5.000.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,- yang bisa disusutkan sekitar 3 tahun. Kapasitas olahnya sekitar 1 sampai dengan 2 ton singkong segar per hari. Setelah dikupas dan digiling, diendapkan serta dijemur, dari 1 ton singkong segar itu, akan diperoleh sekitar 200 kg. tepung aci. Dengan rincian, 10% dari dari volume tersebut merupakan kulit dan pangkal serta pucuk yang harus dibuang. Sekitar 60% berupa air yang 50%nya juga akan dibuang. Dan dari 40% bahan padat tersebut, 20% akan berupa pati dan 20% ampas.

Dengan harga Rp 2.000,- per kg. nilai 200 kg. tepung aci tersebut sekarang mencapai 400.000,- ditambah dengan nilai ampas kering (untuk pakan ternak) @ Rp 100,- per kg X 200 kg menjadi Rp 20.000,- Jadi total pendapatan dari pengolahan tepung aci ini adalah Rp 400.000 + Rp 20.000,- = Rp 420.000,- Dengan ongkos prosesing Rp 150.000,- per ton singkong segar, maka masih ada marjin Rp 70.000,- yang menjadi hak pemilik singkong dan investor.


Jika dilihat sepintas, keuntungan dari memproses sigkong segar menjadi gaplek maupun pati ini relatif kecil. Tetapi singkong merupakan komoditas yang jangka waktu panennya sangat pendek. Antara bulan Juni sampai dengan Oktober (5 bulan), jutaan hektar tanaman singkong akan dibongkar untuk diambil umbinya. Hasilnya adalah jutaan ton singkong segar. Pada waktu panen raya demikian, harga singkong segar akan jatuh kurang dari Rp 100,- per kg. Upaya inilah yang mestinya harus diatasi oleh para petani sendiri dengan melakukan proses pembuatan tepung tapioka atau gaplek.

Tetapi untuk itu, para petani perlu membentuk kelompok. Kemudian mereka juga perlu modal untuk membeli singkong secara cash ke petani dan menunggu proses pembuatan aci serta proses pemasarannya yang akan makan waktu antara 2 sampai dengan 3 bulan. Kalau dalam satu kelompok beranggotakan 30 orang ada 1.000 ton singkong segar, maka diperlukan modal untuk pembelian singkong senilai Rp 100.000.000,- Dalam kurun waktu 2 bulan (6 hari kerja dalam seminggu) para petani anggota kelompok itu harus bekerja mencabut singkong, mengupas, menggiling, memeras, mengendapkan tepung dan menjemurnya dengan upah sekitar Rp 10.000,- per hari. Berarti diperlukan modal kerja sekitar Rp 180.000.000,- Modal investasi diperkirakan paling banyak Rp 20.000.000,- Hingga keperluan modal adalah Rp 300.000.000,-


Dari 1.000 ton singkong tersebut, akan diperoleh 200 ton tepung tapioka dengan nilai Rp 2.000.000,- per ton. Atau total pendapatannya Rp 400.000.000,- Berarti masih ada marjin sekitar Rp 100.000.000,- yang akan dinikmati oleh kelompok tani tersebut. Selain itu para petani juga bisa bekerja dengan nilai upah mencapai Rp 180.000,- dalam kurun waktu sekitar 2 bulan pada waktu panen singkong. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang harus menyediakan (memberi pinjaman) senilai Rp 300.000.000,- tersebut? Seandainya pinjaman itu diperoleh dari bank, tentunya bank akan meminta koleteral.

Sebenarnya para petani tersebut bisa mengajukan singkong yang hasil akhirnya akan menjadi tepung tapioka tersebut sebagai koleteral. Tetapi koleteral demikian tentu akan ditolak oleh bank. Sebab bank biasanya minta koleteral berupa tanah atau tanah dengan bangunan, kendaraan, emas dan lain-lain yang mudah diuangkan kembali. Jaminan berupa raw material dan tepung tapioka masih tidak lazim bagi kalangan perbankan di Indonesia. Padahal, jaminan ini juga relatif mudah diuangkan. Dan dari hitung-hitungan kasar yang ada, proses mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka relatif menguntungkan. Sebab kalau tidak menguntungkan, bagaimana mungkin Gunung Sewu Grup, Astra dan lain-lain konglomerat papan atas Indonesia tertarik untuk menangani singkong segar menjadi tapioka? (F.R.) * * *